Prerai Anyar, Bercerita Kembali Tentang Jukung Kayu Sanur

HandmadNews – Sanur, tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan aktifitas  pesisir, seperti nelayan dan jukung sebagai salah satu alat utamanya. Jukung dikenal sebagai sarana berlayar dan mencari ikan di sekitaran pesisir Sanur. Transportasi perahu ini memiliki sejarah yang panjang, apalagi sekarang sudah sering dimodifikasi, dimana bahan bakunya tidak lagi kayu. Inilah membawa dua perupa Denpasar, Swoofone dan I Wayan Donik Beladona Dangin, yang menggeluti seni urban tertarik untuk berkolaborasi menggunakan media jukung kayu. Ketertarikannya juga didorong dengan sejarah ayah mereka yang merupakan nelayan di pesisir Sanur dan di masa kecilnya mereka suka mengikuti ayahnya bekerja. Aktifitas para nelayan pesisir Sanur dituangkan dalam sebuah karya kolaborasi yang bertajuk “Prerai Anyar” (arti: wajah baru).
“Banyak memori dan cerita yang menggelitik untuk diceritakan kembali ke masyarakat saat ini, yang mungkin sudah tidak mengetahui tentang aktifitas tersebut” kata Donik saat pembukaan Pameran Prerai Anyar di ARTOTEL Sanur ,Rabu (9/06/21).

I Wayan Donik Beladona Dangin

Dalam pameran Prerai Anyar yang berlangsung sebulan dari 9 Juni sampai 9 Juli 2021, Swoofone dan Donik bekerjasama dengan Kelompok Nelayan Astitining Segara, memperoleh izin untuk bercerita kembali melalui gambar pada tiga jukung kayu yang dimiliki Pak Gedo, salah satu anggota kelompok nelayan tersebut.

Profesi nelayan, yakni melaut dan berlayar menggunakan jukung kayu dengan layar yang mengandalkan hembusan angin, ternyata sudah mulai ditinggalkan. Ini dikarenakan banyak jukung sudah menggunakan fiber dan mesin motor tempel untuk menggerakkannya. Bahkan perhitungan berlayar pun seperti jauh dari pengetahuan Swoofone dan Donik.

Swoofone

Mereka awalnya terinspirasi ingin mencoba meng-custom (dengan memural) transportasi air seperti jukung kayu mengikuti fenomena custom-custom terhadap kendaraan darat bermotor, berubah pikiran dengan cerita-cerita yang didapatkan. Memural jukung ini tidaklah lagi sekedar meng-custom. Melainkan, mereka dapat mengangkat sejarah berlayar ini dengan menceritakan kembali memori dan cerita saat-saat mengikuti ayahnya masing-masing dalam bentuk mural di atas jukung dan pancer (kemudi yang mengarahkan jukung) untuk generasi sekarang.

Melalui karya-karya Prerai Anyar, Swoofone dan Donik memvisualisasikan terumbu karang, ikan, cumi, gurita, bahkan bintang laut yang jarang terlihat lagi di pesisir Sanur. Sekat-sekat yang terdapat pada mural di jukung menggambarkan batas-batas karang yang terdapat di tengah laut tidak jauh dari pantai atau pemecah ombak alami yang disebut tinggang. Selain menjadi tempat dimana bisa berpijak memancing saat surut, tinggang merupakan penentu untuk para nelayan, selayaknya pintu masuk jika dari sana terlihat ombak saling bertemu dari kiri dan kanan, maka nelayan tidak bisa mencari ikan di laut dalam, begitu pun sebaliknya.

Ini semua divisualisasikan tanpa rencana gambar seperti biasanya. Mereka mengalir bersama, selalu bekerja berdua, menggambar bentuk-bentuk khas masing-masing, lalu memadu-padan warna-warna mereka. Terdapat gradasi berbagai warna di setiap elemen yang tergambarkan Donik dengan bentukan riil serupa dengan aslinya, sedangkan kekhasan warna merah, hitam dan emas tergambarkan Swoofone dengan bentukan stiil ornamental ala ornamen Bali. Mereka mensket menggunakan pensil dan kapur, menorehkan kuas di atas jukung dengan detail menggunakan cat khusus untuk kayu, memberikan wajah baru terhadap jukung-jukung yang bersejarah di pesisir Sanur tersebut.

Karya awal mereka terdapat pada jukung kecil “Segara”, yang artinya pantai. Pengingat pesisir Sanur yang tidak jauh dari lokasi pameran serta memberi kesempatan kepada para pengunjung untuk memperhatikan jukung dari perspektif yang berbeda. Di “Segara” juga kita dapat melihat eksplorasi awal Swoofone dan Donik. Kemudian, di dua jukung besar “Purnama” dan “Tilem” yang dipamerkan bersebelahan sebagaimana hitungan bulan tersebut menjadi elemen penting berlayar. Digambarkan berdasar warna cream untuk “Purnama” yang biasanya identik dengan perempuan dan berdasar warna hitam untuk “Tilem” yang biasanya identik dengan laki-laki, menunjukkan dualisme yang dipercayai Hindu Bali, sering disebut Rwa Bhineda – bahwa ada dua sisi di segala hal dan kedua sisi itu harus seimbang.

Selain jukung, masing-masing menggambar di atas pancer yang merupakan elemen yang menarik untuk diangkat karena sangat vital dalam berlayar dengan jukung kayu menggunakan tenaga angin. Maka terdapat visualisasi memori yang lebih personal lagi yang masih berkaitan dengan dunia laut: Swoofone tentang dimana saat waktu kecil ia pernah tidak sengaja menghabiskan udang-udang dalam satu mangkuk besar sendirian, sedangkan Donik tentang batu munggul yang merupakan tempat para umat Hindu Bali meminta karang dipakai membuat pura sampai ada yang kerasukan saat itu.

Mereka juga mengekspresikan memori personalnya lewat lukisan dan media print. Karya-karya Swoofone menggambarkan saat ia ditinggal di pinggir pantai oleh ayahnya sampai balik dari melaut dan juga menggambar beberapa hal yang terinspirasi dari jukung-jukung yang ia kerjakan bersama Donik. Sedangkan karya-karya Donik mengangkat cerita menarik tentang mahluk laut yang dikenal sebagai cokli atau nautilus, bentuknya seperti udang tetapi memiliki cangkang. Menurut Donik, dari jaman dahulu dikatakan hanya orang yang terpilih bisa mendapatkannya sebagai obat untuk yang kena cetik atau racun dari kekuatan magis.

Cerita-cerita kecil dari Swoofone dan Donik ini terkuak di saat mereka bekerja bersama dan menjadi bagian dalam mengenalkan Prerai Anyar kepada publik. Yang paling menyentil, datang dari memori masa kecil mereka juga, teringat bagaimana dulu ada banyak ikan yang dapat diperoleh saat surut. Air di Pantai Sanur juga lebih bersih karena tidak ada sisa oli dari pembakaran mesin. Dengan itu, Prerai Anyar memperlihatkan bagaimana pesisir Sanur, Denpasar sudah berubah. Prerai Anyar menjadi pengingat bahwa Denpasar tentu memiliki sejarah berlayar dengan jukung kayu yang lebih ramah lingkungan dan dapat dilanjutkan di era yang diharapkan kita bisa kembali menghormati alam lebih baik lagi. Walaupun jukung-jukung ini mendapatkan wajah baru, Prerai Anyar menjadi pengingat kembali terhadap cerita-cerita pinggir Pantai Sanur yang sudah jarang didengar keseharian anak kota Denpasar hari ini.

Dikutip dari Savitri Sastrawan

Photo oleh Ucok Olok

THANK GOD FOR GOOD KARMA